Minggu, 12 Agustus 2007

LAIN HUSI RAHUNG NASUTION

SOCRATES, HANTU MCCARTHY DAN JIN SOEHARTO
Rahung Nasution
Roh-roh suci dan jiwa-jiwa yang telah pergi, bangun dan perhatikan rakyat! Tulang-tulang yang tersebar di tanah, berdirilah; darah yang telah ditumpahkan di seluruh negeri, bersatulah lagi dan lihat siapa yang mau menghancurkan rakyat ini dan siapa yang mau terus membuat rakyat ini menderita dan membiarkan rakyat mati. Tunjukkan diri kalian, tunjukkan [kepada kami] kekuatan kalian! Aku, anakmu, di sini, menuntutmu untuk memperhatikan rakyat ini, untuk membebaskan mereka dari kekuasaan mereka yang haus darah. - Pidato Presiden Xanana Gusmao pada 22 Juni 2006

Aku baru tahu, seorang presiden, ternyata, bukan hanya mengurus negara, tapi juga punya kekuasaan untuk memerintah mahluk-mahluk yang tak terlihat.
Tapi jika Socrates, yang hidup di abad sebelum Masehi, berkujung ke Dili tiga minggu yang lalu, dia tidak akan menemukan arwah-arwah para patriot yang bangkit dari gunung Matabean. Juga tidak ada roh-roh para martir dari makam Santa Cruz yang berkeliaran di jalanan.

Bisa jadi, di depan Palacio Governu, Socrates akan terkejut bertemu tank-tank tentara asing, gerombolan pemuda yang marah dengan spanduk-spanduk, yang lebih tepat disebut caci-maki daripada tuntutan politik: ”Alkatiri Laos Ema, Nia Diabo”—Alkatiri Bukan Manusia, Dia Setan. Juga ada tentara pemberontak yang memimpin demonstrasi, kakek-nenek dan anak-anak kecil yang diangkut dengan truk keliling-keliling kota, ada yang membawa bendera Australia: “Alkatili Komunista!”, “Alkatili Telolista!”, “Atuun Alkatili!”

Pada adegan selanjutnya, Socrates akan melihat Alkatiri yang digambarkan berbadan separoh binatang berkepala manusia (bukan seperti dewa-dewi Yunani), sedang melakukan adegan sexual (doggie style) dengan mantan Menteri Dalam Negeri Rogério Tiago Lobato. Ada juga spanduk yang menggambarkan Alkatiri sedang memerintah ayam dan kelinci.

Rupanya republik yang muda ini sedang bergemuruh. Sebelumnya di televisi RTTL, 20 Juni, Presiden Xanana Gusmao, berkisah: “Tahun 1989, ketika saya di Ainaro, saya menerima surat dari Rogério Lobato yang menuduh semua yang di luar negeri tidak melakukan apa-apa, dan juga mengatakan bahwa kalau perang sudah selesai, semua orang harus diajukan ke pengadilan rakyat. Rogério Lobato yang memberi tahu saya, melalui surat tersebut, bahwa Marí Alkatiri sibuk memelihara kelinci dan ayam di Maputo”.

Jika tiga minggu yang lalu Socrates berkunjung ke Dili, berpas-pasan dengan knalpot-knalpot motor yang meraung-raung dan bertemu dengan ribuan pengungsi yang meninggalkan rumah, apa kiranya yang dia pikirkan tentang demokrasi?
Socrates tidak percaya bahwa rakyat kecil, kaum maubere dalam istilah Fretilin dan mirip marhaen dalam istilah Soekarno, bisa dilibatkan dalam partisipasi politik. Namun di abad ke-19, si brewok Karl Marx, mengajurkan revolusi kelas yang dipimpin kaum gembel, kaum proletar. “Bersatulah kaum buruh sedunia!”

Partai-partai komunis, yang jadi pelopor kaum proletar mencoba berbagai experimen—model Marxist-Leninist Soviet, Cina ala Mao Zedong, Nicaragua dengan kaum sandinista dan seterusnya dan seterusnya.
Kemudian model negara Soviet yang dipaksakan runtuh dan pendukung sandinista di Nicuaragua harus menerima kekalahan: “Kami lahir miskin dan akan puas mati miskin. Kami tidak pernah kawin dengan kekuasaan,” Daniel Ortega, pada tahun 1990, tidak meratapi pemilu demokratis yang mengakhiri 10 tahun kekuasaan sandinista yang terus-terusan diganggu oleh kalangan oposisi, blokade ekonomi dan milisi bersenjata Contra yang dibiayai Amerika dan dilatih CIA.

Mari Alkatiri yang dituding komplotan yang mendongkelnya sebagai “Teroris” dan “Marxist Mozambique”, jelas bukan Daniel Ortega. Di Timor-Leste, tidak ada kaum proletar seperti yang dimaksud Manifesto Komunis. Kaum maubere juga bukan sandinista yang memenangkan kekuasaan melului jalan revolusi dengan mengorganisir petani-petani bersenjata dari basisnya di pegunungan Amerika Tengah. Masing-masing punya stepanya sendiri, ladang-ladangnya, gunung-gunungnya, lubuk-lubuknya, pohon-pohonnya, batu-batunya, kambing-kambingnya—yang masing-masing berbeda.

Timor-Leste, bekas koloni Portugis, merdeka karena dukungan rakyat terhadap perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Mungkin banyak orang di Indonesia menganggapnya sebagai kecerobohan Habibie sambil melupakan kebrutalan tentara Indonesia selama 24 tahun pendudukan. Memang ada perjuangan melalui bedil dan yang tersisa setelah penghancuran basis-basis perjuangan di awal tahun 1980an, hanya sekian ratus pucuk pada gerilwayan Falintil. Kemudian ada frente klandestina, frente diplomatica dan demonstrasi-demonstrasi yang diorganisir pemuda dan mahasiswa—di Dili, di pulau Jawa dan juga di tempat-tempat lainnya.

Tapi, Marxis-Leninis memang pernah menempel pada Fretilin. Tahun 1977, saat itu Xanana Gusmao merupakan salah satu anggota Komite Sentral. Orientasi ideologi ini kemudian ditinggalkan karena tidak lagi uptodate. Belum jelas juga kenapa ideologi ini pernah dipilih. Masih banyak yang kabur. Masih banyak yang buram dan lembaran sejarah belum mengungkapkannya. Yang kita ketahui kemudian adalah bergerilya sambil negosiasi dan menghimpun segala kekuatan—yang pernah bertikai di tahun 1975—untuk duduk bersama dalam CNRM-CNRT, Unidade Nasional. Dan kita tidak boleh lupa, Alkatiri merupakan salah satu penggagas Piagam Magna Charta CNRT.

Sekarang, kalaupun ada individu atau partai politik di Timor-Leste yang masih berhubungan dengan Marxisme-Leninisme, itu adalah Partai Sosialis Timor (PST) yang mendapat satu kursi di Parlemen—dan kuota untuk mendapat satu kursi itu, harus didongkrak dari sisa-sisa suara yang diperoleh Fretilin. Sekarang kita tidak tahu, apakah di Timor-Leste, Marxisme-Leninisme juga merupakan satu dosa pikiran, akan diharamkan seperti di Jaman Orde Baru?

Pada public hearing CAVR dua tahun yang lalu, “Saya pengikut sosial-demokrat,” begitu Alkatiri pernah mengungkap. Akademisi Australia, Tim Anderson dan Helen Hill dengan bersimpatik mengatakan Alkatiri nasionalis ekonomi. Seorang yang memperjuangkan kedaulatan negaranya dan nenentang dominasi kekuatan asing. Tapi gembong Democratic Socialist Party (DSP) Australia, yang punya hubungan dekat dengan PST, Max Lane, menuding “Alkatiri sama saja dengan Ramos-Horta. Nasionalis tidak berarti anti imperialis!”

Siapapun Alkatiri, ia menjadi perdana menteri karena Fretilin memenangkan pemilu yang demokratis yang difasilitasi PBB, di tahun 2001. Kemudian dipaksa mundur oleh kalangan minoritas oposisi dan sekelompok tentara yang memberontak. Dituduh mempersenjatai sipil, teroris dan komunis. Dunia bungkam dan mantan comandante da luta Presiden Xanana Gusmao merestui, bahkan yang menganjurkan pengunduran Alkatiri.

“Saya bersedia mundur agar presiden tidak mengundurkan diri…” memang Alkatiri tidak segagah Ortega dan dunia pun tidak terharu seperti menyaksikan kekalahan yang diterima kaum sandinista.

Bagi sebagian orang, sepertinya apa pun yang dilakukan Alkatiri semuanya salah. Sepertinya, di negeri yang penduduknya gemar menyabung ayam ini, ada yang melempar jagung untuk jago-jago yang siap diadu. Yang kalah jelas akan disembelih. Mungkin karena ayam jagonya pernah bertarung di Mozombique, dagingnya kurang lezat, alot dan keras. Maka ada yang ingin mencapkkannya. Seperti sampah!

Dan partai mayoritas Fretilin, seperti terluka kena panah. Dipaksa harus menerima kenyataan yang jelas-jelas tidak demokratis. Konstitusi negara ini memang menyebut negara ‘demokratis’. Maka partai-partai politik pun berjualan demokrasi kepada penduduk yang jumlahnya tidak lebih dari satu juta manusia.

Namun jika kunjungan Socrates ke Dili di mulai dari bulan April, Socrates mungkin semakin mencurigai demokrasi. Ada semacam bau busuk yang mencemari udara. Awalnya adalah rumor tentang perang saudara yang mampir dikuping, juga melalui SMS-SMS. Lantas muncul pamflet-pamflet hasutan. Kemudian di pinggiran kota Dili peluru bertaburan. Tentara yang mati. Polisi yang dibantai. Penduduk mengungsi dan ketakutan meninggalkan rumah (ada yang dijarah, dibakar dan kemudian diduduki orang lain).

Selanjutnya bereder daftar-daftar politisi yang akan dibunuh. Juga ada dafta-daftar orang-orang yang punya senjata. Lantas teror mengintai-mengendus: “Apakah kamu Lorosae atau Loromunu?”; “Irak atau Amerika”; “Firaku atau Kaladi”; “Di rumah itu ada senjata”; dan akhirnya “Fretilin pro Alkatiri?”

Kawanku Socrates, karena kamu tidak datang berkunjung ke Dili, dari abad sebelum Masehi, aku hanya ingin mengatakan kepadamu: “Hidup di abad ini, demokrasi adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Dan kita lebih sering memilih untuk mengkhianatinya. Seandainya hidup ini merupakan lipatan-lipatan dunia fiksi, aku ingin menulis drama satu babak tentang kunjunganmu ke sebuah kota yang dihuni para hantu. Bukan ke Dili. Namun ke satu kota hantu yang benar-benar dihuni para hantu dan pikiran penduduknya terus-terusan dihantui.

Alkisah, di sebuah benua yang bernama Amerika (tanah air bagi yang merindukan kebebasan), tahun 1950an. Joseph McCarthy, senator Partai Republik mencurigai ada hantu-hantu yang merasuki masyarakat Amerika. Seniman, jurnalis, aktivis, akademisi dituduh atau dicurigai punya hubungan dengan gerakan komunisme, adalah orang-orang yang dirasuki hantu-hantu jahat. Kemudian seperti muncul dari dunia gaib, tahun 1965, hantu-hantu ini gentayangan di Hindia-Belanda yang ketika itu sudah bernama Indonesia.

Di negeri yang kaya dan mayoritas rakyatnya miskin tertindas, hantu-hantu ini berhadapan dengan jin-jin berseragam yang dipimpin Jendral Soeharto, tentu saja mendapat bimbingan CIA, dan kemudian menemukan korbannya yang dahsyat. Ada yang bilang 500 ribu sampai satu juta manusia dibantai dalam tiga bulan.
Mereka adalah simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ketika itu merupakan salah satu partai legal dan terbesar, atau mereka-mereka yang dicurigai punya hubungan dengan organisasi yang kemudian dikutuk dan diharamkan ini. Konon katanya, militer Indonesia juga menginvasi Timor-Leste karena wilayah setengah pulau yang pernah dijajah Portugis ini, juga sudah dirasuki hantu-hantu komunis.
Cukup aneh, di tahun 2006, ketika Timor-Leste sudah merdeka, hantu-hantu ini bisa gentayangan lagi. Dan Socrates, kawanku, aku juga baru tahu, ternyata hantu ini punya sekutu baru—teroris!

Tidak ada komentar: